Senin, 26 Juni 2017

Mevrouw Ida (Bag. 4)

Unknown
4
Langit cerah kebiruan dengan kelompok-kelompok kecil awan putih yang bergerombol di beberapa titik ketika kami menaiki trem yang akan membawa kami dari pelabuhan menuju Kota Batavia. Di luar dugaanku, Hindia-Belanda ternyata sudah memiliki ular besi buatan manusia ini. Gerbong-gerbong trem ini dibagi menjadi dua kelas. Rombongan kami naik di kelas satu yang nyaman dan bersih. Tempat duduk dalam trem  ini dibagi dua jalur, di antaranya adalah ruang kosong untuk ditempati berjalan. Setiap deret kursi cukup untuk dua orang. Aku duduk bersama Mevrouw Adriani di jalur kanan, di seberang kami Tuan Adriani dan Anton, di belakangnya lagi beberapa misionaris yang ikut menjemput kami. Orang-orang inlander berada di gerbong bagian belakang, di kelas dua. Penumpang trem kelas satu sebagian besar berambut pirang dan berkulit putih. Satu hal baru lagi aku dapatkan: orang Eropa dan orang inlander berbeda kelas di sini.

            Tuan Adriani dan Anton bercakap-cakap sepanjang jalan, sambil sesekali tertawa kecil. Di kapal Anton sudah bercerita mengenai orang ini. Ia sangat dikenal di kalangan misi sebagai ahli bahasa Toraja. Kepalanya agak botak, kumis dan cambangnya cukup lebat. Laki-laki Eropa memang suka memelihara kumis dan cambang. Duduk berdampingan seperti itu, mereka terlihat seperti guru dan murid. Doktor ahli bahasa tersebut sepertinya orang yang ramah. Mevrouw Adriani pun tak kalah ramah. Aku memperkirakan usianya sekitar 30-an tahun. Tinggi badannya hampir sama denganku. Rambutnya pirang penuh dan mukanya agak lonjong. Hanya dalam beberapa saat aku sudah merasakan kasih sayang yang hangat darinya. Dalam hati aku tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan. Setidaknya kami mengawali hari-hari di Hindia-Belanda dengan bertemu hamba-hambaNya yang penuh kehangatan.

            Belum ada pembicaraan penting di antara kami, apalagi yang menyangkut misi. Para penyambut kami sepertinya ingin membuat kami serileks mungkin setelah perjalanan panjang dari Rotterdam. Aku sendiri merasa badan masih seperti terayun-ayun akibat goyangan gelombang selama di perjalanan. Gerbong kelas dua sangat gaduh. Sesekali aku harus menengok ke belakang, sekedar memastikan bahwa tidak ada keributan. Mereka berbahasa Melayu dan bahasa Jawa. Begitulah... beda bangsa, beda budaya, beda perilaku. Sebagai pasangan misionaris, aku dan Anton harus membiasakan diri dengan suasana baru ini. Lain hal jika kami adalah pejabat pemerintah yang hanya di kantor dan bergaul dengan pegawai-pegawai saja.  

            Keluar dari pelabuhan, trem memasuki wilayah rawa-rawa yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar. Beberapa ekor monyet tampak bergelantungan dengan jenaka. Hiburan pertama buatku! Hanya sesekali kelihatan bangunan sederhana. Sekali aku melihat sebuah bangunan yang agak besar, menyerupai vila. Mungkin memang itu vila, entahlah... Dari Mevrouw Adriani aku tahu, daerah ini bernama Ancol.

            Trem akhirnya memasuki kawasan Kota Batavia. Inilah pusat pemerintahan Hindia-Belanda, tempat Yang Mulia Gubernur Jenderal berkantor. Dengar-dengar, penguasa Hindia-Belanda ini bertanggungjawab langsung ke Yang Mulia Ratu di Nederland. Entah benar, entah tidak. Sebagian jalan kota sudah diaspal, sebagian lagi masih berupa batu-batu cadas yang disusun rapi. Bangunan-bangunan tua bergaya Eropa berderet di sana-sini. Sebagian mungkin sudah mencapai seratus tahun lebih. Bukankah orang Belanda sudah beratus-ratus tahun di sini? Bangunan-bangunan baru seakan tak mau kalah. Dan, lihat! Toko-toko China juga ikut meramaikan. Deeleman, grootbak, dos-a-dos, bendy, landau, victoria dan dogcart[1] rupanya sudah sampai juga di Batavia ini. Sungguh beraneka-ragam pemandangan. Auto juga ada, tapi belum seramai kota-kota di Eropa. Sebuah sungai mengalir di tengah kota; sungai Ci Liwung, kata Mevrouw Adriani. Beberapa kali trem berhenti di halte untuk menaikkan dan menurukkan penumpang.

            “Sebentar lagi kita akan turun, Mevrouw Ida. Selamat datang di Batavia”.

            Trem berhenti di salah satu halte dan kami semua turun. Mevrouw Adriani memanggil sebuah dos-a-dos. Belakangan aku tahu, orang inlander menyebut sado, untuk menyesuaikan dengan lidah Melayu. Sebuah sado mendekat. Mevrouw bercakap-cakap sejenak dengan bahasa Melayu. Aku menggerutu dalam hati karena tidak paham. Sekian ratus tahun orang Belanda di Batavia, mengapa orang-orang di Batavia tidak pakai Bahasa Belanda saja?

            “Kalian akan diantar ke sekolah keputrian di Salemba. Malam ini kalian menginap di sana, kami sudah menghubungi kepala sekolah juffrouw de Han”.

            “Kita bertemu besok di gereja, Tuan, Mevrouw. Kalau memungkinkan, Mevrouw akan menjemput kalian. Tapi kalau tidak sempat, Juffrouw de Han akan bersama-sama kalian ke gereja. Beristirahatlah dulu Tuan, Mevrouw. Kelengkapan administrasi kalian akan segera diurus”. Mevrouw Adriani menangguk ramah, tanda meng-iya-kan perkataan suaminya. Tuan Adriani menyalami kami, diikuti yang lainnya.

            “Terima kasih, Tuan-tuan. Terima kasih Mevrouw”.

            Dengan sado, kami menuju sebuah sekolah keputrian di Salemba. Anton menggunakan ksempatan itu untuk bercakap-cakap dengan orang tersebut. Untuk memperlancar bahasa Melayu tentunya, dan aku harus puas jadi pendengar. Ia seorang Madura, kata Anton. Suku-bangsa mana lagi itu Madura. Hindia-Belanda memang banyak suku-bangsa! Sepertinya bahasa Melayu menjadi bahasa penghubung di antara mereka. Orang Belanda juga pakai bahasa Melayu untuk berbicara dengan mereka. Tapi aku menangkap kesan, orang Belanda agak kasar ketika menggunakan bahasa itu kepada mereka. Ah, sudahlah... aku tak mau semakin pusing untuk bertanya lebih lanjut. Toh... nanti akan paham dengan sendirinya. Pertanyaan yang keluar justru:

            “Mengapa bahasa Belanda tidak digunakan oleh semua orang di sini, sayang?”.

Anton mengangkat bahu, alisnya ikut terangkat, lalu tertawa kecil. Ia sengaja menggoda aku yang tidak paham Melayu.

Kami memasuki sebuah pekarangan bangunan sekolah. Seorang wanita Belanda yang masih muda menyambut kami ketika melihat sado memasuki pekarangan. Ini pasti Juffrouw de Han. Barang-barang kami diturunkan oleh beberapa siswa.

Juffrouw de Han menyalami kami sambil memperkenalkan namanya.

“Antonie van de Loosdrecht. Jufrrouw cukup memanggilku Anton”, Anton menjabat tangan sambil memperkenalkan diri.

“Alida Petronella van de Loosdrecht. Panggil saja Ida, Juffrouw”. Aku juga memperkenalkan diri.

“Selamat datang Tuan dan Mevrouw van de Loosdrecht. Beberapa hari yang lalu Mevrouw Adriani telah menyampaikan rencana kedatangan kalian. Tentu sangat lelah. Kamar telah disiapkan. Semoga Tuan Anton dan Mevrouw Ida senang berada di sini”. Sambutannya begitu ramah. Terima kasih Tuhan...

Seorang murid, gadis inlander mengantar kami ke kamar. Anton dan aku berdoa syukur bersama. Hari sudah mulai malam. Kami akan makan malam bersama kepala sekolah dan staf sekolah beberapa jam lagi. Kami punya waktu untuk mandi dan bersiap-siap. Anton hendak menyelesaikan suratnya terlebih dahulu.

Kami makan malam pertama di Hindia-Belanda bersama kepala sekolah dan beberapa staf sekolah. Mereka semua orang yang ramah, membuat kami betah di suasana yang serba baru ini.

Ah.... kupu-kupu ini sekarang sudah berada di pekarangan Hindia-Belanda...


*******

Batavia sangat panas menyengat. Karena itu aku gunakan gaun baru buatan mama. Warnanya merah maron, lengan panjang memang, tetapi kainnya agak tipis. Tampak serasi dengan rok panjang berwarna hitam yang juga tidak terlalu tebal berpadu dengan sepatu-sandal hitam. Kalung dengan manik-manik berwarna putih menghiasi leherku. Topi bundar-besar yang kupakai melindungi kepalaku.

Kami memasuki halaman gereja bersama Mevrouw Adriani dan Juffrouw de Han. Tuan Adriani sedang bersiap-siap, karena dia yang akan memimpin ibadah kali ini. Gedung gereja ini cukup besar dan gaya bangunannya sangat mengikuti gaya Gereja Protestan di Nederland. Pintu masuk ruangan gereja bersambung dengan menara yang menjulang di atasnya. Menara tersebut menyerupai balok. Pada pertengahan menara, terdapat relief yang berbentuk salib besar. Puncak menara berbentuk kerucut menjulang ke langit dan di ujungnya terdapat replika ayam jantan yang dibuat dari pelat tembaga.

Ruangan dalam gereja cukup besar, mampu menampung 300-an jemaat.

Aku, Mevrouw Adriani dan Juffrouw de Han duduk di deretan kursi sebelah kiri, ketiga dari depan. Anton duduk di deretan sebelah kanan. Begitulah kebiasaan Jemaat Protestan Belanda yang beraliran Calvinis: laki-laki dan perempuan duduk terpisah. Jemaat baru mulai berdatangan. Sebagian besar adalah orang Eropa. Beberapa lagi orang-orang Hindia yang telah menjadi pegawai pemerintah dan tentara Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda rupanya memiliki aturan-aturan tersendiri menyangkut orang Hindia-Belanda. Orang-orang inlander dapat diberikan status khusus yang “hampir” setara dengan orang Eropa lainnya. “Hampir”, karena bagaimanapun tetap ada bedanya. Caranya, mereka harus diakui oleh salah satu keluarga Belanda sebagai anggota keluarga dan mendapat marga keluarga tersebut. Minimal diangkat jadi anak. Mereka juga mengganti nama pribumi mereka dengan nama Eropa, juga berpakaian Eropa dan beragama Kristen. Mereka “diperbolehkan” menggunakan bahasa Belanda. Mereka, orang-orang yang bertubuh Hindia tetapi berstatus “hampir” Eropa disebut Indo, sedangkan orang Eropa asli disebut Eropa totok.  

Aku mulai paham,kenapa bahasa Belanda tidak digunakan umum di sini. Di era ini, di Hindia-Belanda, persoalan bahasa juga adalah persoalan kelas sosial. Hanya totok, indo dan sebagian inlander Kristen yang boleh saling berbahasa Belanda. (Belakangan aku tahu, di luar indo, ada juga inlander yang punya status khusus tanpa harus menjadi Kristen. Mereka umumnya keturunan ningrat yang disekolahkan di sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Tetapi untuk masyarakat kebanyakan, jangan coba-coba berbahasa Belanda dengan orang Belanda kalau tidak mau kena semprot caci-maki....!!). Kepada orang inlander, mereka pakai bahasa Melayu. Pantas saja, orang Nederland di pelabuhan kemarin tampak kasar ketika berbicara dengan inlander. Bahkan budaya jabat tangan hanya berlaku untuk orang Eropa plus Indo!!!

Bahasa penghubung di antara orang-orang inlander yang berbeda suku-bangsa adalah bahasa Melayu. Sesama suku-bangsa, mereka pakai bahasa daerah. Orang Jawa berbahasa Jawa, orang Madura berbahasa Madura, orang Toraja tentu saling berbahasa Toraja....

            Toraja, ya, Toraja... Bagaimana kami nanti berbahasa dengan mereka?  

            Ibadah telah dimulai. Di tengah-tengah kerumunan orang Eropa, dengan liturgi Calvinis seperti ini, aku merasa seperti berada di Rotterdam. Kami sering beribadah Minggu bersama Papa, Mama dan adik-adikku di gereja dekat rumahku. Ah, aku merindukan mereka.... Kusembunyikan air mataku dari Mevrouw Adriani dan Juffrouw de Han, terutama dari Anton. Aku tidak ingin ia melihat aku menangis. Alida harus tegar.... harus!!

Khotbah Tuan Adriani sangat menarik perhatianku, apalagi Anton. Bagaimana tidak, ia berkhotbah tentang misi pemberitaan Injil pada orang-orang Toraja di pedalaman Celebes. Selain tentang keadaan alam, bahasa menjadi salah satu tantangan terbesar. Orang di sana tidak kenal budaya tulis, mereka hanya mengenal budaya tutur. Mereka suka berkumpul dan mendengar cerita-cerita yang menarik, apalagi kalau tentang dunia. Orang yang pandai bercerita akan disukai, yang tidak pandai akan ditinggalkan. Karena itu, seni bercerita merupakan hal yang penting untuk masuk ke tengah-tengah mereka. Tentunya, dengan memakai bahasa mereka. Lagi-lagi ini soal bahasa!!! Andai saja manusia tidak mencoba membangun “Menara Babel”, tentu bahasa tidak menjadi sesuatu yang merepotkan.

Sesekali kulirik Anton, dia sangat serius mengikuti khotbah Tuan Adriani. Ini tentang kita, sayang. Tentang apa yang akan kita jalani nantinya, Anton, suamiku...

“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang terkasih di dalam Tuhan, hari ini kita kedatangan Tuan dan Nyonya van de Loosdrecht, utusan Gereformeerde Zendingsbond untuk menginjil di tengah-tengah penganut animisme di Toraja. Tuhanlah yang mengutus mereka untuk kemuliaanNya. Tuan dan Nyonya van de Loosdrecht mohon berdiri”. Tuan Adriani memperkenalkan kami sebelum menutup khotbahnya.

Anton dan aku berdiri bersamaan. Sejenak kurasakan semua mata terarah kepada kami sampai kami duduk kembali. Ketika selesai ibadah, banyak yang berdatangan menyalami kami. Kami juga diperkenalkan dengan para pengurus gereja.

“Nah, Tuan dan Nyonya van de Loosdrecht, aku dan Mevrouw telah memutuskan jauh-jauh hari sebelum kedatangan kalian agar kalian diberikan sedikit pengetahuan tentang orang Toraja sebelum kalian ke sana. Karena itu, sekiranya Tuan dan Mevrouw mau, kalian bisa tinggal di rumah singgah kami di Sukabumi barang beberapa hari. Kami akan ke sana besok pagi. Bagaimana Tuan, Mevrouw?”

“Suatu kehormatan buat kami Tuan. Saya akan sangat senang kalau Tuan sudi membekali kami tentang orang Toraja. Istriku juga bisa mendapat pengetahuan tentang kebiasaaan perempuan Toraja, bukan begitu, sayang?”. Anton tersenyum padaku.

“Dengan senang hati, Tuan, Mevrouw”. Aku menimpali.

“Baiklah. Kita akan berangkat besok pagi. Untuk hari ini, puas-puaskanlah mengelilingi Batavia ini. Seorang pengurus gereja akan menemani kalian. Setengah jam lagi dijemput di sekolah”.
Kami berpisah di pekarangan depan gereja. Aku, Anton dan Juffrouw de Han kembali ke sekolah untuk makan siang bersama. Juffrouw de Han dengan sabar menjelaskan setiap pertanyaan yang aku dan Anton ajukan tentang Hindia-Belanda ini.

Kami baru saja selesai makan siang dan sedang mengobrol di meja makan ketika seorang murid memberitahukan bahwa seseorang datang mencari misionaris. Kami bertiga menuju ruang depan. Seorang laki-laki Hindia tersenyum kepada kami. Dia masih muda, mungkin seumuran denganku. Apakah dia seorang Indo? Bagaimana aku dan Anton menyapanya?

Kami semakin dekat, tetapi aku dan Anton sama-sama masih bingung apakah akan berjabat tangan atau tidak. Ia mengulurkan tangannya. Ternyata seorang Indo. Kami lupa kalau Tuan Adriani sudah mengatakan bahwa kami akan dijemput oleh pengurus gereja. Pengurus gereja tentu Kristen, dan tentunya Eropa totok atau indo. Bahkan kami sama-sama lupa kalau ia berpakaian Eropa.  

“Robert Jan Dapperste”. Ia memperkenalkan nama. Jelas, Dapperste adalah nama yang ia dapatkan dari keluarga Eropa, mungkin karena ia diangkat anak. Entahlah...

Kami menyambut uluran tangannya dan memperkenalkan nama kami masing-masing.

            “Aku dan istriku akan menyerahkan hidup kami sampai petang nanti ke tangan anda, Tuan”. Anton bergurau, sekedar mengakrabkan suasana. Anton tertawa kecil, ia juga. Aku dan Juffrouw de Han tersenyum simpul.

“Aku akan berusaha semampuku, Tuan, Mevrouw. Yang jelas, Batavia tidak seindah Rotterdam. Oh ya, kereta sudah siap, mari Tuan, mari Mevrouw, kita keliling Batavia. Satu lagi, panggil saja aku Sinyo[2] Robert, Tuan, Mevrouw. Aku belum berkeluarga”. Ia tertawa riang.

Kami berpamitan pada Juffrouw de Han, lalu naik ke sebuah dogcart[3] yang sudah menunggu di tepi jalan. Dengan tenaga dua ekor kuda yang gagah, kami mulai menjelajahi Batavia yang cukup padat, namun lumayan bersih ini. Tempat-tempat sampah ada di setiap sudut jalan. Jalan-jalan dibuat lebar, persis seperti jalan-jalan di Rotterdam. Jalanan ramai oleh berbagai kendaraan yang ditarik oleh kuda atau sapi. Sesekali auto melintas. Tampaknya hanya para pembesar dan tuan-tuan tanah yang bisa memiliki auto. Dan persewaan auto tentunya. Di pinggir jalan-jalan besar, pohon-pohon besar berjejer rapi. Kami melintasi sungai Ci Liwung. Sampan-sampan kecil bertebaran ke sana kemari. Rakit-rakit pengangkut bahan bangunan juga tampak hilir-mudik. Menurut Robert, bahan-bahan bangunan itu diangkut dari pedalaman. Bangunan-bangunan bergaya Eropa tampak bertebaran. Gereja, rumah sakit, kantor-kantor, stasiun kereta. Pemerintah sepertinya hendak memindahkan Eropa ke sini, hanya bedanya, di sini banyak toko China. Juga banyak Mesjid di kampung Betawi dan kampung Melayu.

 “Berapa usiamu, Sinyo?” Anton bertanya pada Robert ketika dogcart melintas di sebuah jembatan kali Ci Liwung.

“Dua puluh satu, Tuan”. Sedikit lebih muda dari aku, batinku.

“Tuan bekerja di gereja?”

“Ya, sekretaris gereja, Tuan. Dulu ayah saya, Pendeta Dapperste, bertugas di situ. Tapi ia telah kembali ke Amsterdam tiga tahun lalu”.

“Ayah yang baik tentunya?”. Aku memancing.

“Benar, Mevrouw. Ia berjanji akan datang lagi dan membawaku ke Nederland tahun depan. Ia mengangkat aku jadi anaknya waktu aku berumur tujuh tahun. Waktu itu ia bertugas sebagai pendeta yang melayani inlander di kampungku, Magelang. Ia sangat baik pada semua orang, termasuk pada ayahku yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih gereja. Waktu akan pindah ke Batavia, ia meminta aku pada ibu dan bapakku. Untuk disekolahkan, katanya, biar jadi orang pintar. Bapak-ibuku setuju, maka jadilah aku anak angkatnya. Ia memberi aku nama baru, Robert Jan Dapperste, dan membaptis aku. Ia juga mencatatkan aku pada pencatatan sipil. Aku sudah lupa nama kecilku dulu apa. Aku juga tidak mau mencari tahu. Aku senang jadi indo, jadi manusia modern. Suatu saat aku akan ke Eropa, melihat keajaiban-keajaiban dunia. Bukankah semua keajaiban berasal dari sana, Tuan, Mevrouw? Mana pernah kami membayangkan besi akan berjalan seperti pada kereta api, dan lihat, auto yang di seberang jalan itu, sampai kapanpun inlander tidak akan pernah bisa membuatnya”.

Aku dan Anton berpandangan. Ia terus saja bercerita dengan bahasa Belanda yang fasih, ujung-ujungnya memuji segala yang telah diciptakan orang Eropa. Tuhan, bagaimana kami mengatakan pada orang ini bahwa semua manusia diciptakan sama di hadapan Tuhan? Telah demikian parahkah kesenjangan di Hindia ini?

Sebuah bangunan yang megah berdiri dengan halaman yang sangat luas di sebelah kanan jalan yang kami sedang lalui. Bangunan termegah yang aku lihat selama di Batavia ini. Bangunan itu berbentuk segi empat raksasa dengan dua pintu masuk. Tembok-temboknya bercat putih dan sekeliling dinding dipenuhi dengan jendela-jendela raksasa yang tertutup kain. Jalan masuk dibangun dengan gaya abad pertengahan: empat tiang beton besar dan kokoh menyangggah atap yang dibuat menjorok dari bangunan utama, lengkap dengan patung-patung. Di atasnya tertulis: HARMONIE

“Itu De Harmonie, Tuan, Mevrouw. Bangunan elit untuk orang elit. Tempat Tuan Gubernur Jenderal menyambut tamu-tamu penting. Di dalamnya ada ruang-ruang rapat dan tempat bermain bilyar. Aku juga cuma dengar-dengar, belum pernah masuk ke sana”. Ia tertawa lepas...

“Apakah Tuan Gubernur Jenderal juga berkantor di situ, Sinyo?”

“Tidak Mevrouw, ia berkantor di Buitenzorg[4], cukup jauh dari kota Batavia. Maaf Tuan, Mevrouw, sayangnya kita tidak punya cukup waktu untuk ke sana”.

Kami masih mengunjungi beberapa tempat, hingga ke Weltevreden. Orang Betawi menyebutnya Gambir. Selebihnya tidak terlalu menarik bagiku. Kami memasuki pekarangan sekolah ketika petang baru saja lewat. Kami mengucapkan terima kasih kepada Sinyo Robert sambil meminta pertolongannya sekali lagi: mem-pos-kan suratku untuk keluargaku dan surat Anton untuk lembaga misi dan untuk keluarganya.

Besoknya, pagi-pagi kami berangkat ke Sukabumi setelah berpamitan dengan Juffrouw de Han yang sangat ramah tersebut. Untuk pertama kali selama di Hindia, aku dan Anton menaiki auto yang disewa oleh Tuan dan Nyonya Adriani.

*************

Lain Batavia, lain pula tanah Priangan.

Auto yang kami tumpangi perlahan-lahan membawa kami keluar dari hiruk-pikuk Batavia yang panas. Kami melewati punggung bukit menuju Sukabumi. Walaupun gerimis mulai turun, kami masih dapat melihat kebun teh yang terhampar luas di bukit-bukit, udara yang segar, sawah-sawah, sungai mengalirkan air yang jernih. Benar-benar subur dan indah.

Tuan Adriani duduk di samping sopir. Aku, Anton dan Mevrouw Adriani duduk di belakang. Pembicaraan kami ramai. Berbagai hal yang membuat aku penasaran aku tanyakan kepada Tuan dan Nyonya Adriani. Sesekali Tuan Adriani bercakap-cakap dengan sopir dalam Melayu. Walau Tuan Adriani bersikap santai, sopir kami yang ternyata orang Sunda selalu menanggapi dengan sikap hormat yang berlebihan.

“Kebanyakan inlander memang masih susah membedakan antara pejabat pemerintah atau tuan tanah dengan misionaris. Bagi mereka, semua orang kulit putih sama. Itu menjadi tantangan bagi misionaris di daerah misi. Jika kita tidak bisa membuat mereka paham, mereka akan terus menganggap kita seperti ketika berhadapan dengan controleur atau pejabat pemerintah lainnya.  Sementara kita, misionaris, harus selalu berada di antara mereka untuk mempelajari bahasa dan perilaku mereka. Bagaimana Firman Tuhan mau di sampaikan kalau bukan dengan bahasa dan cara mereka? Pada tahun-tahun awal kedatangan saya di Poso, setiap perkunjungan pertama ke kepala-kepala kampung, mereka menyangka saya datang untuk menarik pajak”. Tuan Adriani menjelaskan pada kami.

Aku memandang Anton. Pada saat bersamaan ia juga memandangku. Kami saling berpandangan beberapa saat. Ini adalah pelajaran kedua kita dari Tuan Adriani, Anton, suamiku. Tentang orang Toraja... Yang pertama waktu di gereja kemarin. Dan lagi-lagi tentang bahasa, dampak dosa “Menara Babel”!!

Ketika sampai di Sukabumi, aku semakin takjub dengan keindahan dan kesuburan tanah di sini. berbagai tanaman tumbuh bersama. Rumah sementara Tuan Adriani berada di sebuah lereng bukit. Dari sini kita bisa melihat petak-petak sawah dari depan rumah. Dari belakang rumah, gunung-gunung menjulang tinggi. Di tepian sebuah gunung, air mengalir di antara batu-batu sungai. Tidak terlalu jauh dari rumah, sebuah Mesjid yang agak kecil berdiri. Petang hari, terdengar suara seperti gendang raksasa di pukul lima kali.

“Itu bunyi bedug, pertanda jam sembahyang. Bedug menyerupai gendang, hanya jauh lebih besar. Biasanya terbuat dari kayu besar yang dilubangi dan ditutup dengan kulit sapi”.

Setiap sore mereka mengadakan pengajian, kata Mevrouw. Dari sini, kami bisa mendengar suara anak-anak yang sedang belajar mengaji. Mengaji adalah kegiatan belajar membaca Alqur’an. Sebagian besar penduduk Jawa memang beragama Islam. Hanya sedikit sekali yang Kristen. Apalagi orang-orang Priangan, misi bagi mereka hanya akan selalu memberi sedikit sekali hasil. Menurut Tuan Adriani, kita dapat hidup di tengah-tengah mereka, tetapi setiap upaya penginjilan akan ditolak.

Setelah membereskan barang-barang, aku membantu Mevrouw Adriani untuk menyiapkan makan malam. Anton bercakap-cakap dengan Tuan Adriani di beranda.

“Kamu masih lelah, Mevrouw. Istirahatlah, atau bergabung dengan suamimu di depan”. Aku semakin merasakan kehangatan kasih-sayangnya.

“Tidak apa-apa, Mevrouw. Kami sudah cukup beristirahat selama di Batavia. Lagipula, saya sudah tidak sabar ingin mendengar banyak tentang kebiasaan perempuan Toraja”.

Dari perbincangan selama di dapur aku mendapatkan beberapa pengetahuan tentang perempuan Toraja. Dalam urusan anak, mereka sangat menyayangi anaknya, sama seperti orang Eropa. Mereka juga ikut suami ke ladang bekerja, bersama anak-anak mereka. Peliharaan mereka yang utama adalah babi. Hidangan keluarga sangat sederhana: nasi, sayur dan lada yang diulet. Sekali-sekali ditambah ikan asin. Hanya pada saat pesta saja orang makan daging. Soal kebersihan, sangat jauh dari standar kebersihan.

Kami makan malam bersama. Baru kali ini aku dapat makan dengan nikmat setelah turun dari kapal. Selama di Batavia, mabuk laut masih terbawa. Anton juga makan dengan lahap.  

“Apa doa orang Toraja kalau mau makan, Tuan?”

“Haha, doa dalam masyarakat Toraja adalah hal yang langka dalam kehidupan sehari-hari. Kita hanya melihat mereka berdoa ketika ada ritual-ritual suku. Yang punya keahlian untuk berdoa adalah pemimpin agama suku. Selebihnya, kita tidak akan menjumpai orang yang berdoa perorangan atau perkeluarga”.

Lain tanah lain budaya, aku membatin. 

“Aku sedang mengumpulkan bahan-bahan teentang ritual mereka, terutama doa-doa yang diucapkan oleh pemimpin agama suku. Biasanya, dalam doa-doa merekaa itu kita dapat menangkap apa yang menjadi inti kepercayaan mereka, bahkan mungkin sejarah mereka. Untuk mengkaji seperti apa mereka, maka semua hal yang menyangkut ritual harus kita pelajari. Juga dongeng-dongeng mereka. Banyak misionaris yang meremehkan dongeng-dongeng inlander karena dipenuhi dengan tahayul. Mereka tidak paham bahwa dongeng menjadi salah satu kunci untuk masuk ke dalam sejarah suku”.

Aku melirik Anton. Ingat-ingat pesan itu, sayang. Anton sangat serius mendengarkan. Setiap kata dari Tuan Adriani memang adalah emas bagi misionaris baru seperti kami.

“Orang Toraja, seperti yang sudah sering aku katakan, tidak kenal budaya tulis. Tapi bukan berarti mereka adalah orang-orang tanpa sejarah. Kita orang Eropa menuangkan sejarah kita melalui tangan dalam tulisan-tulisan, mereka melalui suara mereka”.

Kami berpindah ke ruang tamu di depan ketika kami telah selesai makan.

“Beberapa hari ke depan saya akan menjelaskan lebih lanjut tentang kehidupan orang Toraja, terutama cara mereka berkomunikasi sehari-hari. Untuk sekarang, adalah penting bagi kalian untuk mengetahui tentang Hindia-Belanda secara umum, Tuan, Mevrouw. Yang saya maksudkan bukan sejarah Hindia-Belanda, karena saya pikir tentu kalian sudah banyak mengetahuinya selama di Nederland. Bukan begitu Tuan, Mevrouw?”.

Benar. Di Nederland, adalah wajib bagi para pelajar untuk belajar sejarah Hindia-Belanda. Tentang VOC yang berkuasa dan membentuk pemerintahan-dagang di sini sejak Pieter Both diangkat sebagai Gubernur-Jenderal tahun 1610. Kekuasaan VOC di Hindia-Belanda bertahan hingga tahun 1799. Kerajaan Belanda yang sedang berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, sang penakluk dari Prancis mengambil alih. Lalu Hindia-Belanda jatuh ke tangan Inggris tahun 1810. Praktis Inggris menguasai Hindia-Belanda selama hampir 16 tahun, dengan tiga kali pergantian Lieutenant-Governor[5], salah satunya Sir Thomas Stamford Raffles yang termasyur itu. Tetapi setelah melalui diplomasi, pemerintahan Yang Mulia Ratu mengambil alih Hindia-Belanda tahun 1816 dan mengangkat G.A.G.Ph. van der Capellen sebagai Gubernur-Jenderal. Sejak itu, pemerintahan Yang Mulia Ratu di Nederland berdaulat penuh atas Hindia-Belanda, hingga sekarang. Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg yang sekarang berkuasa adalah Gubernur-Jenderal yang ke 24 sejak Nederland berkuasa langsung atas Hindia-Belanda. Tetapi, jika dihitung sejak VOC, Nederland-Prancis, Inggris, dan Nederland, Gubernur-Jenderal Idenburg adalah penguasa Hindia-Belanda yang ke 64. Ia menggantikan Johannes Benedictus van Heutz. Di sini, semua orang memanggil Gubernur-Jenderal sebagai “Yang Mulia”.

            “Situasi Hindia-Belanda telah banyak berubah. Terutama di Jawa ini. Gubernur Jenderal sebelumnya, Yang Mulia van Heutz menghadapi banyak perlawanan bersenjata, tetapi ia berhasil mengokohkan kekuasaannya. Sekarang ini, Yang Mulia Idenburgh menghadapi perlawanan yang lebih halus, namun lebih berbahaya. Politik Etis, yang memungkinkan orang Hindia mendapat pendidikan modern, lama-lama bisa menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah kita”.

Tuan Adriani tampak semakin serius, boleh dikatakan tegang. Aku masih menyimak kemana arah pembicaraan ini.

“Nippon telah semakin berani menantang Eropa dengan mengangkat diri sebagai pemimpin Asia. Tiongkok juga telah bangkit dan bersatu menjadi republik yang besar. Amerika Serikat yang semakin kuat bukan tidak mungkin akan melebarkan sayapnya ke seluruh dunia”.

Tuan Adriani menghela nafas. Aku mulai meraba-raba, Hindia-Belanda mendapat tantangan dari luar dan dari dalam. Aku teringat pada laki-laki Arab yang kurang sopan di Port Said tempo hari.

“Beberapa hari lalu, Yang Mulia Idenburgh mengadakan rapat besar. Aku juga diundang, bersama beberapa wakil pemerintah dari Celebes. Bagaimanapun, Celebes sangat diperhitungkan untuk mengantisipasi ancaman dari ‘atas’. Untuk perairan Malaka, pemerintah tidak terlalu kuatir, Inggris masih berkuasa penuh di Singapura sampai ke India. Sepertinya, masalah terbesar muncul dari dalam, khususnya di tanah Jawa ini”.

Tuan Adriani meneguk teh hangat yang disajikan oleh Mevrouw Adriani, lalu melanjutkan penjelasannya panjang lebar. Aku mencoba menarik benang merah dari setiap penjelasannya. Perkembangan dunia telah turut mengubah wajah Hindia. Orang-orang Tionghoa telah mengorganisasikan diri. Dengan cepat organisasi di kalangan inlander juga bermunculan. Para ningrat Jawa telah membentuk Boedi Oetomo, organisasi yang khusus untuk orang-orang Jawa. Sebelumnya, Sarekat Dagang Islam juga terbentuk. SDI berubah nama menjadi Syarikat Islam dan berhasil menghimpun pengikut yang banyak sekali dalam beberapa tahun. Awalnya, organisasi ini dibentuk untuk mengorganisasikan para pedagang Islam karena ketatnya persaingan dengan pedagang Tionghoa yang telah lebih dulu membentuk organisasi mereka. Tetapi, dalam perjalanannya, Syarikat Islam tumbuh menjadi kekuatan politik yang cukup kuat menantang pemerintah. Mereka berhasil menerbitkan harian “Medan” koran pertama di Hindia-Belanda yang berbahasa Melayu! Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebelumnya, semua koran di sini berbahasa Belanda dan China. Dengan menggunakan Islam sebagai alat propaganda, mereka dapat menarik pengikut dari semua kalangan inlander. Harian berbahasa Melayu dapat dibaca oleh sebagian besar masyarakat. Tidak jarang, mereka memuat kritik terhadap orang-orang Nederland, terutama pemilik-pemilik perkebunan dan pabrik gula. Bahkan mereka juga tidak segan-segan mengkritik pemerintah.

Yang Mulia Idenburgh mengambil sikap tegas, tetapi bukan dengan kekuatan senjata. Pemerintah mendukung, bahkan dengan finansial, setiap organisasi yang mendukung pemerintah. Boedi Oetomo adalah salah satunya. Untuk menangani organisasi-organisasi “nakal” seperti Syarikat Islam, pemerintah mengambil langkah menguasai dari dalam. Pemimpin-pemimpin mereka yang tidak mau patuh ditangkap dan diasingkan keluar Jawa, sebagian besar ke Ambon.


[1] Delman, gerobak, sado, bendi, landau, victoria, dokar.
[2] Panggilan untuk laki-laki yang belum berkeluarga.
[3] dokar
[4] Bogor
[5] Gubernur-Letnan. Inggris tidak menggunakan Gubernur-Jenderal.

postingan populer :